Kamis, 19 April 2012

Rindu Cahaya



Termangu aku memandang semampaimu
Tak jauh beda dari masa-masa sebelum sekarang
Selalu ku dibuat rindu pada paparan ladang kurma
Tak mampu ku rengkuh tak mampu ku peluk
Seperti semunya fatamorgana


Jepara, Ramadhan 1432 H

Samar Bersandar



Ada yang datang ada juga yang pergi
Ada yang sangat terasa ada juga yang berlalu begitu saja
Indah tak tentu bahagia
Kadang putih juga terlihat seperti hitam
Senja terlihat seperti malam
Dan hembusan angin tetap tak akan terlihat
Namun akan tetap terdengar

Jepara, Mei 2011

Sabtu, 14 April 2012

Cahaya Qhada-Mu


Telah aku menepikan Engkau pada sisi yang begitu gelap
Aku merasa bak edelweis layu
Jalan serasa kerikil berbukit
Sedang langkahku hanya sejengkal tangan cacing

Redup ku lihat nur memancar
Perlahan putihkan hati yang terlanjur hitam
Sejuk meresap tetesan embun lailatul qadar
Awali hidup berpegang iman berlandas taqwa

Saling merangkul berjabat tangan
Memaknai indahnya kemenangan
Mendendang takbir menuai fitri
Pun silaturrahim menyiram kalbu
Hingga berbunga ikatan Yasin yang abadi

Jepara, 15 Maret 2012



Kalut Menyusup

bisik angin malam merasuk telinga
membuai dalam kalut menyusup
tak ada dedaunan pun suara kehidupan
hanya hitam dipandang
ingin aku beranjak merangkak
namun langkah tertatih tertahan sakit perasaan
desir angin kencang menderu
hingga membawaku ke bawah haru
berkhayal terbang bertemu titik terang
memulai kembali hari yang sempat hilang
berjalan mengikuti angin
hingga sampai aku di ujung ingin
                                                                               


Jepara, 3 April 2012

Minggu, 08 April 2012

Belajar Berealis

Sebenarnya ini lanjutan pembahasan tentang "menjadi diri sendiri", kebetulan kawan lama pulang kampung ke Jepara, yang memang dia menggali ilmunya konsen di kota Jogja, kesempatan besar untuk berdiskusi.
Tempo hari sempat saya menulis tentang bagaimana ketika kita sebagai pelaku seni peran dihadapkan pada masalah ketidakmampuan mencapai sukma tokoh dalam karakter, sehingga yang terjadi adalah kita terjebak pada bentuk yang seharusnya ditampilkan bukan emosi yang seharusnya muncul. Kemudian muncul pendapat bagaimana seandainya jika dihadapkan oleh masalah seperti itu kita memerankan tokoh dalam naskah sebagai diri kita sendiri, tetapi tergantung usia yang diperankan itu akan lebih muncul emosi sampai ke sukmanya.
Seorang kawan lama tadi menanggapi pendapat tersebut yaitu tinggal bagaimana bentuk penggarapan naskah akan digarap, apakah realis, surealis, absurd dan sebagainya. Kalau misalkan dibuat bentuk realis sangat tidak mungkin memakai pendapat awal tadi, sebab ketika kita membedah karakter dalam naskah dari sisi 3 dimensi yaitu sisi psikologi, fisiologi dan sosiologi akan berbeda hasilnya. Artinya latar belakang tokoh dalam naskah akan berbeda dengan latar belakang kita, walaupun secara kebetulan ada yang sama tidak mungkin bisa sama persis dengan latar belakang diri kita sendiri. Contoh kasus, misalkan ada peran kakek tua berusia 70 tahun, saya memerankan dengan teknik pendapat pertama berarti saya berperan sebagai diri sendiri 50 tahun yang akan datang, sedangkan ketika saya memakai teknik pendapat yang kedua saya akan memerankan tokoh kakek tua yang benar-benar bukan diri saya sendiri, dari sisi psikologis, fisiologi sampai sosiologinya. Saya lebih tertarik dengan pendapat kedua, kenapa? sebab ketika proses menjadi kakek selama 50 tahun (dari usia saya sekarang) akan berbeda dengan kemungkinan latar belakang yang terjadi pada karakter tokoh dalam naskah. Dan pada penggarapan naskah realis yang menuntut semua adegan dan bentuk serealis mungkin kita pun tidak bisa mengubah karakter yang memang sudah ada dalam naskah.
Saya menganggap mungkin menggali tokoh karakter dalam naskah itu yang disebut salah satu art dalam seni peran. Sangat menarik sekali untuk terus digali, semoga berhasil, salam budaya.